Pemikiran adalah buah dari proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sejak kita diajarkan berinteraksi di dalam masyarakat. Pemikiran adalah suatu yang abstrak dari dalam diri individu, dan biasanya pemikiran itu lahir didasari pada kepribadian yang terbentuk dari proses interaksi tersebut. Jadi sebenarnya kehidupan itu erat kaitannya dengan interaksi-interaksi kecil yang terjadi, disengaja maupun tidak disengaja, dan sadar ataupun tidak sadar. Dari proses tersebut terlihat pemikiran yang disampaikan oleh individu tersebut. Seperti yang saya dan kedua teman saya lakukan. Kami menuangkan pemikiran kami dalam sebuah perdebatan, atau boleh dibilang diskusi yang sengit. Disini saya mempunyai pemikiran yang berbeda dari mereka berdua. Sebelumnya saya ingin memperkenalkan kedua partner Awesome saya yaitu yang pertama Syifa Kamilia dan Valeri Siringoringo. Kami adalah anak-anak dari Depok. Dan berikut adalah ilustrasi yang membawa kami pada pengungkapan pemikiran yang berujung pada diskusi yang sengit…
Awalnya, saya
belajar mandarin karena besok ulangan. Ai (Valeri) dan Cip-cip (Syifa)
melihatnya, dan apakah reaksi mereka melihat saya belajar mandarin?
Valeri: Ngapain belajar Mandarin? Emang
kalau jadi dokter, pelajaran bahasa Mandarin yang kita pelajarin sekarang bakal
kepake?
Cip-cip: Betul
Alvita: Ambil positifnya aja deh, kalau
misalnya kita jadi dokter, siapa tau kita ketemu pasien yang orang mandarin
atau kita jadi dokter yang ditugaskan di dataran china sana , kan
pasti bakal kepake..
Ai: Tapi belajar Mandarin itu
membuang-buang waktu dan kenapa kalau kita mau jadi dokter, kita ga belajar
pelajaran yang lebih focus dan yang jelas mengarah. Dan menurut gue kalau jadi
dokter ya yang harus lo kerjakan adalah tanggung jawab lo untuk mengobati
pasien, masalah interaksi dengan pasien itu ga terlalu penting
Cip-cip: Betul… belajar pelajaran yang kita
sukai itu Awesome!
Dari percakapan ini
dapat kita simpulkan bahwa kami benar-benar mempunyai pemikiran yang berbeda.
Saya lebih memikirkan manfaat dari ilmu lebih yang saya pelajari, dan mereka
lebih memikirkan pemfokusan materi ilmu. Pemikiran ini sebenarnya wajar
mengingat beragam individu terkumpul dalam suatu lingkup yang dinamakan
sekolah. Didalam kepala kami terbentuk suatu pemikiran akibat proses
sosialisasi yang kami dapatkan.
Saya berpendapat
bahwa semua ilmu adalah penting. Dari mulai ilmu social sampai muatan local
sekalipun. Karena bagi saya mempelajari semua ilmu adalah menyenangkan, dan itu
membuat wawasan kita lebih terhadap hal yang terjadi di sekitar, sehingga kita
tidak menjadi anak yang pasif dan mati informasi akan dunia luar. Dengan
mempelajari ilmu social, keuntungan yang saya dapatkan adalah saya menjadi tahu
secara kasar atau mendalam tentang proses social yang biasa terjadi, walaupun
dalam penerapannya itu juga terantung dari individu masing-masing. Contohnya
belajar bahasa Mandarin adalah keuntungan untuk saya, karena saya menyukai hal
yang berbau asia . Namun bisa dilihat, belajar
bahasa Mandarin adalah suatu paksaan atau sesuatu yang tidak penting bagi
mereka. Dan saya masih percaya, ilmu social itu tetap dipakai dalam penerapan
pekerjaan apapun.
Mereka berpendapat
bahwa belajar sesuatu diluar cita-cita atau yang kita sukai adalah suatu
kesia-siaan. Maka dari itu mereka lebih suka mempertahankan keadaan mereka
dengan tidak belajar Mandarin, walaupun mereka melihat saya belajar Mandarin.
Percakapan ini
berlanjut ke Sistem Pendidikan di Indonesia. Topic ini sangat rentan mengingat
kami sebagai murid yang tidak puas dengan system pendidikan di Indonesia .
Ai: System pendidikan di Indonesia itu
ancur! Kita sebagai murid juga punya batasan dalam berfikir. Contoh sekolah di
Jepang atau di Eropa. Pembebanan materi itu nggak sampai belasan kaya kita
Cip-cip: Iya, disana praktek dan teori itu
sejalan. Kalau di Indonesia, prakteknya itu nonsense
Alvita: Tapi, walaupun begitu, materi juga
dibutuhkan dalam pembelajaran kurikulum. Coba kalian praktek tanpa materi,
pasti keblinger
Ai: Siapa bilang materi itu nggak penting?
Kita Cuma bilang penerapan materi itu harus dibarengi dengan praktek
Cip-cip: Apa dengan lo belajar kosakata Mandarin
sekarang, akan menjamin lo bisa bahasa Mandarin tanpa praktek dalam kehidupan
sehari-hari? Kita itu terlalu dibebani dengan sugudang materi, namun dalam
pelaksanaannya itu sangat tidak efektif. Bahasa mandarin itu harus diperbanyak
praktek pengucapannya
Okay, untuk kali ini saya setuju dengan
pendapat mereka yang mengedepankan materi dibarengi dengan praktek. Memang
nyatanya, murid di Indonesia
“dipaksa” untuk mempelajari segudang materi itu tanpa praktek yang nyata
sebagai usaha pendalaman materi. Apakah dengan belajar teori saja sudah cukup?
Contohnya dalam pelajaran KIMIA! Bagaimana
kita tahu bahwa larutan ini dicampur ini akan menghasilkan ini jika kita tidak
mempraktekannya! Dan bagaimana kita tahu bahwa terdapat perbedaan kandungan antara
materi ini dengan ini jika kita tidak membuktikannya. Lagi-lagi sarana dan
prasarana menjadi kendala dalam perwujudan system pendidikan di Indonesia . Lalu
apa yang harus kita lakukan sebagai murid sekolah di Indonesia menghadapi kenyataan
seperti ini?
Dan pengibaratan mereka yang membuat saya
kagum adalah…
Ai: Contohnya bayi, ketika bayi belajar
berjalan, apa mereka di kasih teori berjalan dulu? Nak, kalau mau berjalan
kakinya diangkat terus badannya di bla bla bla.. enggak kan ?
Cip-cip: Hahahahaha (kebanyakan ketawa nih
si cip-cip)
Alvita: Tapi, mereka jelas harus
diperkenalkan dulu teori berjalan!
Ai: Dimana-mana teori yang sejalan sama
praktek itu lebih efektif!
Cip-cip: Betul!
Alvita: Pokoknya teori juga penting dalam
kehidupan! Bayangin kalau kita praktek tanpa teori, bisa keblinger lah
Cip-cip: Ya kan kita bukannya lebih membela praktek
daripada teori, kita bilang teori juga harus sejalan sama praktek!
Alvita: (kalah lagi)
Perdebatan semakin berlanjut..
Cip-cip: Dari mulai jam masuk sekolah aja kita
udah salah! Bandingin sama negara-negara lain, mereka itu masuk jam 8 atau
setengah 9. Bayangin Indonesia
itu masuk jam 7, bahkan sekolah di Jakarta
sekarang udah ada yang masuk jam setengah 7.
Ai: Betul! Dan lagi kita pulang jam 3! Itu
terlalu mem-forsir otak namanya. Otak kan
juga perlu istirahat
Alvita: …… (kehabisan kata-kata)
Sebenarnya
apa yang dapat kita bela untuk system pendidikan di Indonesia yang menurut pengakuan
anak Indonesia
sendiri “sudah tidak dapat tertolong lagi.” Disini saya akan mencoba netral dan
tidak membela siapapun. Saya sebagai anak Indonesia memang sedikit kecewa
dengan system pendidikan ini, tapi hikmah yang saya dapatkan adalah dengan
system seperti ini, saya akan mendapat banyak pengetahuan secara kasar dan
ataupun mendalam tentang semua bidang mata pelajaran yang ada. Namun sangat
disayangkan pemfokusan materi tidak dilakukan sejak dini. Apabila pemfokusan
telah dilakukan, sebenarnya mempelajari semua materi menjadi lebih menyenangkan
seperti sebuah selingan. Dan itu terasa lebih efektif daripada kita dipaksa
untuk mempelajarinya. Karena mempelajari sesuatu dengan paksaan adalah seperti
menanam pohon yang tidak akan berbuah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar