Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright Text

RSS

Senin, 10 September 2012

belajar praktek dan belajar teori


Pemikiran adalah buah dari proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sejak kita diajarkan berinteraksi di dalam masyarakat. Pemikiran adalah suatu yang abstrak dari dalam diri individu, dan biasanya pemikiran itu lahir didasari pada kepribadian yang terbentuk dari proses interaksi tersebut. Jadi sebenarnya kehidupan itu erat kaitannya dengan interaksi-interaksi kecil yang terjadi, disengaja maupun tidak disengaja, dan sadar ataupun tidak sadar. Dari proses tersebut terlihat pemikiran yang disampaikan oleh individu tersebut. Seperti yang saya dan kedua teman saya lakukan. Kami menuangkan pemikiran kami dalam sebuah perdebatan, atau boleh dibilang diskusi yang sengit. Disini saya mempunyai pemikiran yang berbeda dari mereka berdua. Sebelumnya saya ingin memperkenalkan kedua partner Awesome saya yaitu yang pertama Syifa Kamilia dan Valeri Siringoringo. Kami adalah anak-anak dari Depok. Dan berikut adalah ilustrasi yang membawa kami pada pengungkapan pemikiran yang berujung pada diskusi yang sengit…

Awalnya, saya belajar mandarin karena besok ulangan. Ai (Valeri) dan Cip-cip (Syifa) melihatnya, dan apakah reaksi mereka melihat saya belajar mandarin?
Valeri: Ngapain belajar Mandarin? Emang kalau jadi dokter, pelajaran bahasa Mandarin yang kita pelajarin sekarang bakal kepake?
Cip-cip: Betul
Alvita: Ambil positifnya aja deh, kalau misalnya kita jadi dokter, siapa tau kita ketemu pasien yang orang mandarin atau kita jadi dokter yang ditugaskan di dataran china sana, kan pasti bakal kepake..
Ai: Tapi belajar Mandarin itu membuang-buang waktu dan kenapa kalau kita mau jadi dokter, kita ga belajar pelajaran yang lebih focus dan yang jelas mengarah. Dan menurut gue kalau jadi dokter ya yang harus lo kerjakan adalah tanggung jawab lo untuk mengobati pasien, masalah interaksi dengan pasien itu ga terlalu penting
Cip-cip: Betul… belajar pelajaran yang kita sukai itu Awesome!
         
Dari percakapan ini dapat kita simpulkan bahwa kami benar-benar mempunyai pemikiran yang berbeda. Saya lebih memikirkan manfaat dari ilmu lebih yang saya pelajari, dan mereka lebih memikirkan pemfokusan materi ilmu. Pemikiran ini sebenarnya wajar mengingat beragam individu terkumpul dalam suatu lingkup yang dinamakan sekolah. Didalam kepala kami terbentuk suatu pemikiran akibat proses sosialisasi yang kami dapatkan.
         
Saya berpendapat bahwa semua ilmu adalah penting. Dari mulai ilmu social sampai muatan local sekalipun. Karena bagi saya mempelajari semua ilmu adalah menyenangkan, dan itu membuat wawasan kita lebih terhadap hal yang terjadi di sekitar, sehingga kita tidak menjadi anak yang pasif dan mati informasi akan dunia luar. Dengan mempelajari ilmu social, keuntungan yang saya dapatkan adalah saya menjadi tahu secara kasar atau mendalam tentang proses social yang biasa terjadi, walaupun dalam penerapannya itu juga terantung dari individu masing-masing. Contohnya belajar bahasa Mandarin adalah keuntungan untuk saya, karena saya menyukai hal yang berbau asia. Namun bisa dilihat, belajar bahasa Mandarin adalah suatu paksaan atau sesuatu yang tidak penting bagi mereka. Dan saya masih percaya, ilmu social itu tetap dipakai dalam penerapan pekerjaan apapun.
         
Mereka berpendapat bahwa belajar sesuatu diluar cita-cita atau yang kita sukai adalah suatu kesia-siaan. Maka dari itu mereka lebih suka mempertahankan keadaan mereka dengan tidak belajar Mandarin, walaupun mereka melihat saya belajar Mandarin.

Percakapan ini berlanjut ke Sistem Pendidikan di Indonesia. Topic ini sangat rentan mengingat kami sebagai murid yang tidak puas dengan system pendidikan di Indonesia.

Ai: System pendidikan di Indonesia itu ancur! Kita sebagai murid juga punya batasan dalam berfikir. Contoh sekolah di Jepang atau di Eropa. Pembebanan materi itu nggak sampai belasan kaya kita
Cip-cip: Iya, disana praktek dan teori itu sejalan. Kalau di Indonesia, prakteknya itu nonsense
Alvita: Tapi, walaupun begitu, materi juga dibutuhkan dalam pembelajaran kurikulum. Coba kalian praktek tanpa materi, pasti keblinger
Ai: Siapa bilang materi itu nggak penting? Kita Cuma bilang penerapan materi itu harus dibarengi dengan praktek
Cip-cip: Apa dengan lo belajar kosakata Mandarin sekarang, akan menjamin lo bisa bahasa Mandarin tanpa praktek dalam kehidupan sehari-hari? Kita itu terlalu dibebani dengan sugudang materi, namun dalam pelaksanaannya itu sangat tidak efektif. Bahasa mandarin itu harus diperbanyak praktek pengucapannya

Okay, untuk kali ini saya setuju dengan pendapat mereka yang mengedepankan materi dibarengi dengan praktek. Memang nyatanya, murid di Indonesia “dipaksa” untuk mempelajari segudang materi itu tanpa praktek yang nyata sebagai usaha pendalaman materi. Apakah dengan belajar teori saja sudah cukup?
Contohnya dalam pelajaran KIMIA! Bagaimana kita tahu bahwa larutan ini dicampur ini akan menghasilkan ini jika kita tidak mempraktekannya! Dan bagaimana kita tahu bahwa terdapat perbedaan kandungan antara materi ini dengan ini jika kita tidak membuktikannya. Lagi-lagi sarana dan prasarana menjadi kendala dalam perwujudan system pendidikan di Indonesia. Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai murid sekolah di Indonesia menghadapi kenyataan seperti ini?
Dan pengibaratan mereka yang membuat saya kagum adalah…

Ai: Contohnya bayi, ketika bayi belajar berjalan, apa mereka di kasih teori berjalan dulu? Nak, kalau mau berjalan kakinya diangkat terus badannya di bla bla bla.. enggak kan?
Cip-cip: Hahahahaha (kebanyakan ketawa nih si cip-cip)
Alvita: Tapi, mereka jelas harus diperkenalkan dulu teori berjalan!
Ai: Dimana-mana teori yang sejalan sama praktek itu lebih efektif!
Cip-cip: Betul!
Alvita: Pokoknya teori juga penting dalam kehidupan! Bayangin kalau kita praktek tanpa teori, bisa keblinger lah
Cip-cip: Ya kan kita bukannya lebih membela praktek daripada teori, kita bilang teori juga harus sejalan sama praktek!
Alvita: (kalah lagi)

Perdebatan semakin berlanjut..

Cip-cip: Dari mulai jam masuk sekolah aja kita udah salah! Bandingin sama negara-negara lain, mereka itu masuk jam 8 atau setengah 9. Bayangin Indonesia itu masuk jam 7, bahkan sekolah di Jakarta sekarang udah ada yang masuk jam setengah 7.
Ai: Betul! Dan lagi kita pulang jam 3! Itu terlalu mem-forsir otak namanya. Otak kan juga perlu istirahat
Alvita: …… (kehabisan kata-kata)

          Sebenarnya apa yang dapat kita bela untuk system pendidikan di Indonesia yang menurut pengakuan anak Indonesia sendiri “sudah tidak dapat tertolong lagi.” Disini saya akan mencoba netral dan tidak membela siapapun. Saya sebagai anak Indonesia memang sedikit kecewa dengan system pendidikan ini, tapi hikmah yang saya dapatkan adalah dengan system seperti ini, saya akan mendapat banyak pengetahuan secara kasar dan ataupun mendalam tentang semua bidang mata pelajaran yang ada. Namun sangat disayangkan pemfokusan materi tidak dilakukan sejak dini. Apabila pemfokusan telah dilakukan, sebenarnya mempelajari semua materi menjadi lebih menyenangkan seperti sebuah selingan. Dan itu terasa lebih efektif daripada kita dipaksa untuk mempelajarinya. Karena mempelajari sesuatu dengan paksaan adalah seperti menanam pohon yang tidak akan berbuah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar