Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright Text

RSS

Rabu, 30 Januari 2013

Belajar Mengelola Sampah Dari Negara Lain

1. Korea
Menurut laporan UNEP Green Economy, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Korea dengan berbagai kebijakannya, berhasil menggalakkan program daur ulang di Negeri Ginseng itu sekaligus menciptakan ribuan lapangan kerja baru. Hal tersebut dilakukan pemerintah demi menciptakan masyarakat yang mampu memanfaatkan kembali sumber daya (Resource Recirculation Society).
Kebijakan “Extended Producer Responsibility” (EPR) dari pemerintah mewajibkan perusahaan dan importir untuk mendaur ulang sebagian dari produk mereka. (EPR) adalah suatu strategi yang dirancang untuk mempromosikan integrasi semua biaya yang berkaitan dengan produk-produk mereka di seluruh siklus hidup (termasuk akhir-of-pembuangan biaya hidup) ke dalam pasar harga produk. Tanggung jawab produser diperpanjang dimaksudkan untuk menentukan akuntabilitas atas seluruh Lifecycle produk dan kemasan diperkenalkan ke pasar. Ini berarti perusahaan yang manufaktur, impor dan / atau menjual produk diminta untuk bertanggung jawab atas produk mereka berguna setelah kehidupan serta selama manufaktur. Prinsip pengotor membayar - prinsip pengotor membayar adalah prinsip di mana pihak pencemar membayar dampak akibatnya ke lingkungan. Sehubungan dengan pengelolaan limbah, ini umumnya merujuk kepada penghasil sampah untuk membayar sesuai dari pembuangan
Lima tahun setelah kebijakan EPR ini diluncurkan yaitu pada 2003, sebanyak 6,067 juta ton sampah berhasil didaur ulang dengan manfaat finansial mencapai lebih dari US $1,6 miliar. Pada 2008, sebanyak 69.213 ton produk plastik berhasil didaur ulang, membawa manfaat ekonomi sebesar US$69 juta. Selain itu, dalam masa empat tahun penerapan EPR (2003-2006), sistem ini berhasil menciptakan 3.200 lapangan kerja baru .
Manfaat EPR terhadap lingkungan juga tak kalah besarnya. Dengan mendaur ulang produk-produk yang ditentukan oleh EPR, Korea berhasil mengurangi emisi karbon dioksida rata-rata 412.000 ton per tahun. Sistem EPR juga berhasil mencegah terciptanya 23.532 ton emisi gas rumah kaca dari pembuangan dan pembakaran sampah plastik.
Walaupun jumlah sampah di Korea terus meningkat (sejak tahun 2000), namun jumlah sampah yang berhasil didaur ulang juga terus naik. Contoh, pada tahun 1995, sebanyak 72.3% sampah padat dibuang di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan hanya 23,7% yang berhasil didaur ulang. Pada tahun 2007, 57.8% sampah padat berhasil didaur ulang dan hanya 23,6% yang dibuang. Pada tahun yang sama, sebanyak 81,1% dari total sampah berhasil didaur ulang.
Dengan berkurangnya sampah dan tempat pembuanganya, bisnis baru tercipta. Proyek Pemulihan Kembali Gas Dari Sampah Korea (Korea’s Landfill Gas Recovery Project) kini menjadi sebuah proyek pengembangan energi bersih besar dengan kapasitas energi mencapai 50 MWh dan memroduksi 363.259 MWh pada tahun 2009.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Perkotaan (Metropolitan Landfill Power Plant) telah berhasil mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 0,4 juta ton antara April dan November 2007. Proyek ini diharapkan mampu mengurangi 7 juta ton emisi gas rumah kaca dalam jangka waktu 10 tahun (dari April 2007 hingga April 2017).
Dalam periode yang sama, pembangkit tersebut diharapkan mampu menghemat biaya pemerintah sebesar US$126 juta. Pembangkit ini juga telah berhasil mengurangi impor minyak Korea sebesar 530.000 barel pada tahun 2009.
2. Belanda
Sementara itu di Eropa dalam mengatasi masalah sampah ini, Komisi Eropa telah membuat panduan dasar pengelolaan sampah yang diperuntukkan untuk negara-negara anggotanya, seperti Belanda, Swedia dan Jerman. Dalam penyusunan panduan itu melibatkan pemerintah, pengusaha, dan rakyat masing-masing negara. Lalu, Kebijaksanaan Eropa itu kemudian diterjemahkan oleh parlemen negara masing-masing ke dalam perundang-undangan domestik, yang berlaku buat pemerintah pusat hingga daerah.
Sampai dengan abad ke-17 penduduk Belanda melempar sampah di mana saja sesuka hati. Di abad berikutnya sampah mulai menimbulkan penyakit, sehingga pemerintah menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah. Di abad ke-19, sampah masih tetap dikumpulkan di tempat tertentu, tapi bukan lagi penduduk yang membuangnya, melainkan petugas pemerintah daerah yang datang mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20 sampah yang terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, melainkan dibakar. Kondisi pengelolaan sampah di Negeri Kincir Angin (Belanda) saat itu kira-kira sama seperti di Indonesia saat ini.
Di Belanda, mereka memisahkan sampah menjadi: sampah organik, sampah yang bisa didaur ulang, sampah yang tidak berbahaya bila dibakar, dan sampah yang berbahaya/beracun. Pemerintah Belanda menyediakan tempat2 sampah sesuai jenisnya, sehingga memudahkan dinas pengelolaan sampah untuk mengolahnya. Sampah organik seperti sisa makanan ataupun daun2an kemudian diproses menjadi pupuk kompos. Sampah2 seperti kertas, kaca, dan logam bisa didaur ulang kembali. Sedangkan sampah2 yang tidak berbahaya dibakar untuk kemudian bisa membangkitkan pembangkit listrik tenaga uap (ini bisa jadi solusi buat PLN yang katanya lagi krisis energi). Sedangkan sampah2 berbahaya seperti batu baterai dan aki di karantina karena berbahaya bagi lingkungan (sanitary landfill)
3. Swedia
Pengelolaan sampah di Swedia selalu mengedepankan bahwa sampah merupakan salah satu resources yang dapat digunakan sebagai sumber energi. dasar pengelolaan sampah diletakkan pada minimasi sampah dan pemanfaatan sampah sebagai sumber energi. Keberhasilan penanganan sampah itu didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat yang sudah sangat tinggi. Landasan kebijakan Swedia, senyawa beracun yang terkandung dalam sampah harus dikurangi sejak pada tingkat produksi. Minimasi jumlah sampah dan daur ulang ditingkatkan. Pembuangan sampah yang masih memiliki nilai energi dikurangi secara signifikan.
Sehingga, kebijaksanaan pengelolaan sampah swedia antara lain meliputi: Pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA harus berkurang sampai dengan 70 % pada tahun 2015. Sampah yang dapat dibakar (combustible waste) tidak boleh dibuang ke TPA sejak tahun 2002. Sampah organik tidak boleh dibuang ke TPA lagi pada tahun 2005. Tahun 2008 pengelolaan lokasi landfill harus harus sesuai dengan ketentuan standar lingkungan. Pengembangan teknologi tinggi pengolahan sampah untuk sumber energi ditingkatkan.
Kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat yang mengerti arti kebersihan dan energi, membuat Swedia menjadi negara maju dalam pengelolaan sampah. Dalam data statistik Eurostat, rata-rata jumlah sampah yang menjadi limbah di negara-negara Eropa adalah 38 persen. Swedia berhasil menekan angka itu menjadi hanya satu persen.
Swedia, negara terbesar ke-56 di dunia, dikenal memiliki manajemen sampah yang baik. Mayoritas sampah rumah tangga di negara Skandinavia itu bisa didaur ulang atau digunakan kembali. Satu-satunya dampak negatif dari kebijakan ini adalah Swedia kini kekurangan sampah untuk dijadikan bahan bakar pembangkit energinya.
Swedia kini mengimpor 800 ribu ton sampah per tahun dari negara-negara tetangganya di Eropa. Mayoritas sampah ini berasal dari Norwegia. Sampah-sampah ini sekaligus untuk memenuhi program Sampah-Menjadi-Energi (Waste-to-Energy) di Swedia. Dengan tujuan utama mengubah sampah menjadi energi panas dan listrik.
Norwegia, sebagai negara pengekspor, bersedia dengan perjanjian ini karena dianggap lebih ekonomis dibanding membakar sampah yang ada. Namun, dalam rencana perjanjian disebutkan, sampah beracun, abu dari proses kremasi, atau yang penuh dengan dioksin, akan dikembalikan ke Norwegia.
Sedangkan bagi Swedia, mengimpor sampah adalah pemikiran maju dalam hal efisiensi dan suplai energi bagi kebutuhan manusia. Membakar sampah dalam insinerator mampu menghasilkan panas. Di mana energi panas ini kemudian didistribusikan melalui pipa ke wilayah perumahan dan gedung komersial. Energi ini juga mampu menghasilkan listrik bagi rumah rakyatnya.
Dikatakan oleh Catarina Ostlund, Penasihat Senior untuk Swedish Environmental Protection Agency, kebijakan ini bisa meningkatkan nilai dari sampah di masa depan. "Mungkin Anda bisa menjual sampah karena ada krisis sumber daya di dunia," ujar Ostlund.
Sesudah Norwegia, Swedia menargetkan mengimpor sampah dari Bulgaria, Rumania, dan Italia. Selain membantu Swedia dalam menyediakan sumber energi, impor sampah ini juga menjadi solusi pengelolaan sampah bagi negara-negara pengekspornya. (Zika Zakiya. Sumber: Phys.org)
4. Austria
Kelompok statistik Uni Eropa Eurostat telah mengumumkan nama negara yang melakukan daur ulang paling sukses pada 2009, yaitu Austria. Menurut statistic Eurostat itu, tidak kurang dari 70 persen limbah dari rumah tangga didaur ulang atau dijadikan kompos di Austria. Usaha pengomposan itu menempati tingkat pertama di atas 26 negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Di Inggris, sebagai perbandingan, bisa dikatakan Negara yang terburuk dalam melakukan daur ulang. Karena negara itu hanya 26 persen saja dan menempati posisi akhir dari statistik itu.
Laporan Eurostat itu menampilkan data khususnya soal limbah yang dihasilkan Negara-negara di Uni Eropa. Secara per kapita, penduduk Eropa menghasilkan rata-rata 513 kg limbah rumah tangga selama tahun 2009. Rata-rata ini adalah tingkat tertinggi, sementara angka limbah rumah tangga tertinggi dihasilkan oleh Denmark dengan 833 kg dan yang terrendah adalah Republik Ceko dengan 316 kg limbah.
Di Eropa limbah yang dihasilkan oleh warganya rata-rata 504 kg per hari. Dari jumlah itu, 38 % dibuang ke TPA, 24 % didaur ulang, 20 % diinsinerasi dan 18 % diubah menjadi kompos.
5. Jerman
Sejak 1972 pemerintah Jerman melarang sistem sanitary landfill, karena terbukti selalu merusak tanah dan air tanah. Bagaimanapun sampah merupakan campuran segala macam barang (tidak terpakai) dan hasil reaksi campurannya seringkali tidak pernah bisa diduga akibatnya. Pada beberapa TPA atau instalasi daur ulang selalu terdapat pemeriksaan dan pemilahan secara manual. Hal ini untuk menghindari bahan berbahaya tercampur dalam proses, seperti misalnya baterei dan kaleng bekas oli yang dapat mencemari air tanah. Sampah berbahaya ini harus dibuang dan dimusnahkan dengan cara khusus.
Di Jerman terdapat perusahaan yang menangani kemasan bekas (plastik, kertas, botol, metal dsb) di seluruh negeri, yaitu DSD/AG (Dual System Germany Co). DSD dibiayai oleh perusahaan-perusahaan yang produknya menggunakan kemasan. DSD bertanggung jawab untuk memungut, memilah dan mendaur ulang kemasan bekas.
Berbeda dengan kondisi Jerman 30 tahun silam, terdapat 50.000 tempat sampah yang tidak terkontrol, tapi kini hanya 400 TPA (Tempat Pembuangan Akhir). 10-30 % dari sampah awal berupa slag yang kemudian dibakar di insinerator dan setelah ionnya dikonversikan, dapat digunakan untuk bahan konstruksi jalan.
Cerita menarik proses daur ulang ini datangnya dari Passau Hellersberg adalah sampah organik yang dijadikan energi. Produksi kompos dan biogas ini memulai operasinya tahun 1996. Sekitar 40.000 ton sampah organik pertahun selain menghasilkan pupuk kompos melalui fermentasi, gas yang tercipta digunakan untuk pasokan listrik bagi 2.000 - 3.000 rumah.
6. Mesir
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
7. Jepang
a. Belajar dari Osaka
Menurut Katsuya Tokurei (Kepala Bappeda Kota Osaki), di Kota Osaki pemilahan sampah dimulai sejak 15 tahun lalu dengan 25 jenis sampah yang dipilah. Pemilahan sampah diawali sejak keluar dari rumah, untuk mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA). Selama 8 tahun pemerintah secara konsisten menjelaskan kepada masyarakat mengenai pentingnya memilah sampah sejak dari dapur. Sampai akhirnya sekarang ini masyarakat Osaki selalu memilah sampah sejak dari dapur dan sekarang ditanamkan hal tersebut ke anak-anak sejak usia dini.
Sampah rumah tangga paling banyak menghabiskan tempat dan volume. Sedangkan sampah organik adalah sampah yang paling berat, paling sulit dibuang saat keluar dari rumah. Namun, sampah organik bila dipisah dapat menjadi sumber daur ulang dengan nilai ekonomis.
Menurut Tokurei, tahun 1998 lalu, sampah di Kota Osaki mencapai 4.382 ton setiap hari. Setelah masyarakat diberikan ilmu tentang pemilahan sampah, maka setahap demi setahap jumlah sampah mulai menurun. Tahun 1999, sampah yang dihasilkan tinggal 3.763 ton, tahun 2000 menurun lagi menjadi 2.393 ton, memasuki tahun 2001 jadi tinggal 1.700 ton. Dan terus menurun, hingga akhirnya tinggal nol dan 80 persen sampah di Kota Osaki dapat didaur ulang, dan yang masuk ke TPA tingga 20 persen.
b. Belajar dari Tokyo;
Sekitar 75% sampah di Jepang diolah dengan cara dibakar. Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di tahun 1960 dan 1970-an, orang Jepang bahkan masih rendah kepeduliannya pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah.
Pada saat itu, Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga masalah lingkungan hidup tidak menjadi prioritas. Contohnya kasus pencemaran Minamata, saat pabrik Chisso Minamata membuang limbah merkuri ke lautan dan mencemari ikan serta hasil laut lainnya. Para nelayan dan warga sekitar yang makan ikan dari laut sekitar Minamata menjadi korban. Di tahun 2001, tercatat lebih dari 1700 korban meninggal akibat tragedi tersebut.
Di tahun 60 dan 70-an, kasus polusi, pencemaran lingkungan, keracunan, menjadi bagian dari tumbuhnya industri Jepang. Di kota Tokyo sendiri, limbah dan sampah rumah tangga saat itu menjadi masalah besar bagi lingkungan dan mengganggu kehidupan warga Tokyo.
Pada pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat peduli lingkungan atau “chonaikai” di berbagai kota di Jepang. Masyarakat menggalang kesadaran warga tentang cara membuang sampah, dan memilah-milah sampah, sehingga memudahkan dalam pengolahannya. Gerakan mereka menganut tema 3R atau Reduce, Reuse, and Recycle. Mengurangi pembuangan sampah, Menggunakan Kembali, dan Daur Ulang.
Gerakan tersebut terus berkembang, didukung oleh berbagai lapisan masyarakat di Jepang. Meski gerakan peduli lingkungan di masyarakat berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah. Bagi pemerintah saat itu, urusan lingkungan belum menjadi prioritas.
Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang
Bulan Juni 2000, UU mengenai Masyarakat Jepang yang berorientasi Daur Ulang atauBasic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society disetujui oleh parlemen Jepang. Sebelumnya, pada tahun 1997, Undang-undang Kemasan Daur Ulang atau “Containers and Packaging Recycle Law” telah terlebih dahulu disetujui oleh Parlemen.
Pada mulanya pengolahan sampah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tokyo, akan tetapi saat ini pengolahan sampah telah diambil alih oleh Asosiasi Pemrosesan Sampah Kota/Kecamatan. Asosiasi tersebut tidak bertujuan mencari laba.
Tempat Pengolahan sampah dibangun diatas tanah seluas 44.400 m2, dengan rincian untuk bangunan pengolah sampah seluas 28.548 m2 dan bangunan administrasi 2.236 m2. Bangunan pengolah sampah dilengkapi dengan Stack berupa silinder bertulang baja setinggi 130 m. Fasilitas Slag stock dengan konstruksi bertulang baja setinggi 9,6 m. Tempat Pengolahan sampah dibangun dengan modal 29 Milyar yen dengan pegawai 36 orang. Metode pembakaran TPS dengan cara Fully continuous combustion dengan kapasitas 600 ton per hari.
Hasil pembakaran sampah berupa debu, kemudian dipanaskan lagi dengan suhu 3000oC sehingga dapat diperoleh material bangunan yang disebut slag. Material tersebut sangat bernilai sebagai material baru untuk konstruksi bangunan.
Masyarakat Jepang terkenal sangat serius dalam menangani sampah. Tidak hanya tidak boleh membuang sampah sembarangan, melainkan juga harus memisahkan-misahkan berbagai jenis sampah sebelum dibuang, jadi tidak ada sampah yang di masukkan kedalam kantong sampah secara “borongan”.
Secara prinsip, sampah di Jepang dibagi menjadi 4 jenis :
• Sampah bakar (conbustible) • Sampah tidak bakar (nonconbustible) • Sampah daur ulang (recycle) • Sampah ukuran besar
Di negara Jepang, Ada jadwal di hari hari tertentu yang mengatur jenis sampah saja yang harus dibuang, Petugas akan mengambil sampah tiap hari sesuai jadwal dan jenis sampahnya.
Dalam tehnik pengolahan sampah :
1. Truk-truk sampah masuk ke pusat pengolahan melalui pintu utAma.
2. Truk ditimbang untuk mengetahui berat sampah yang dibawa.
3. Sampah-sampah dimasukan ketempat pembakaran.
4. Ampas hasil sampah digunakan membuat cone-block untuk trotoar lingkungan setempat.
5. Cairan dari sampah basah, tempat pengolahan memiiki mesin penyulingan air yang fungsinya membersihkan air dari sampah, sebelum dialirkan lagi kesungai.
Sistem daur ulang di Jepang, menganut dua langkah besar,
1. Pemisahan material dan pengumpalan
2. Pemrosesan dan daur ulang sampah.
Kesadaran, gotong royong dan kerjasama yang baik antarwaga, pemerintah dan segenap elemen masyarakat menjadikan pengolahan sampah di Jepang dapat berjalan lancar,
Peran berbagai pihak dalam pengelolaan sampah di Jepang.
1. Peran Lembaga Pendidikan Dalam Pengelolaan Sampah
Program Gomi Zero Di Hiroshima City University. Mahasiswa Turun Ke Jalan Untuk Membersihkan Sampah.
Peran lembaga pendidikan dalam pengelolaan sampah sangat penting sekali. Salah satu fungsi lembaga pendidikan dalam hal pengelolaan sampah adalah menyadarkan generasi muda Jepang tentang etika, bahaya dan efek buruk sampah melalui jalur pendidikan sejak dini. Salah satu hal yang menarik adalah bukan hanya mengajarkan teori belaka tetapi turut aktif terjun langsung dengan cara mengerahkan semua muridnya untuk membersihkan sampah di dalam lingkungan sekolah dan sekitarnya. Program seperti ini dikalangan masyarakat Jepang dikenal dengan istilah gomi zero, gomi artinya sampah dan zero artinya nol jadi bisa diartikan gerakan tidak ada sampah. Bukan hanya dikalangan taman kanak kanak dan sekolah dasar, program gomi zero dikalangan lembaga pendidikan juga dilakukan sampai tingkat universitas dengan cara sama seperti anak anak sekolah dasar, yaitu membersihkan lingkungan dalam kampus dan sekitarnya. 2. Peran Serta Perusahaan
Gomi Zero Oleh Para Karyawan Perusahaan Dengan Membersihkan Sampah Di Tepi Sungai.
Bagaimana peran perusahaan dalam hal pengelolaan sampah? Ternyata persan perusahaan juga sangat besar baik dalam pengelolaan sampah di dalam perusahaan maupun lingkungan sekitarnya. Sampah di dalam perusahaan diatur sangat ketat dalam proses pemisahannya. Dalam kondisi tertentu misalnya menyangkut sampah jenis khusus perusahaan menggandeng perusahaan pengelola sampah secara khusus. Perusahaan juga tidak ketinggalan berperan serta dalam pemeliharaan lingkungan melalui program gomi zero secara berkala. Kalau sudah ada program gomi zero, semua karyawan ikut tidak terkecuali. Jadi tidak heran jika kita lihat orang yang pakaiannya rapi pakai jas dan dasi berkeliaran di jalan memunguti sampah. Aktivitas gomi zero ini diabadikan kemudian di tempel di papan pengumuman agar semangat gomi zero tidak pernah luntur.
3. Peran Masyarakat
Gomi Zero Oleh Masyarakat Jepang Yang Tinggal Di Daerah Pantai
Kesadaran akan kebersihan dan pengelolaan sampah di Jepang sangat tinggi sekali. Hasilnya luar biasa, dari lingkungan tempat tinggal, stasiun, jalan raya dan lingkungan, taman, daerah aliran sungai sampai pusat kota terlihat bersih dan cantik sekali.
Untuk membangun kesadaran itu, kelompok masyarakat seperti “chonaikai” melakukan aksi-aksi kampanye kepedulian lingkungan di berbagai lapisan masyarakat. Beberapa sukarelawan ada yang secara aktif turun ke perumahan untuk memonitor pembuangan sampah, dan berdialog dengan warga tentang cara penanganan sampah.
Tidak hanya itu, tekanan sosial dari masyarakat Jepang apabila kita tidak membuang sampah pada tempat dan jenisnya. Rasa malu menjadi kunci efektivitas penanganan sampah di Jepang. Ketiga, program edukasi yang masif dan agresif dilakukan sejak dini. Anak-anak di Jepang, sejak kelas 3 SD sudah dilatih cara membuang sampah sesuai dengan jenisnya. Hal tersebut membangun kultur buang sampah yang mampu tertanam di alam bawah sadar. Membuang sampah sesuai jenis sudah menjadi “habit”.
4. Regulasi Dari Pemerintah Jepang
Poin keempat yaitu regulasi ini sangat vital bagi pengelolaan sampah di Jepang. Karena jika tidak ada regulasi yang hebat pengelolaan sampah di Jepang tidak akan berjalan dengan baik. Regulasi yang bersifat menyeluruh diatur oleh pemerintah pusat, sedangkan yang bersifat teknis diatur oleh pemerintah daerah.
a. Jadwal Membuang Sampah Per Tahun Yang Jelas
Jadwal membuang sampah di Jepang diterbitkan oleh tiap-tiap pemerintah daerah setahun sekali berlaku dari bulan April sampai Maret tahun berikutnya. Setiap daerah memiliki jadwal yang berbeda beda sehingga tidak akan tabrakan. Jadwal ini sangat penting karena menjadi salah satu patokan dalam membuang sampah di Jepang. Jangan sampai salah hari karena tidak akan diangkut. Misalnya saja hari senin jadwalnya membuang sampah yang bisa dibakar,. Jika membuang jenis lain misalnya jenis sampah plastik bisa bisa petugas tidak akan mengangkutnya. Akhirnya numpuk dan mengganggu pemandangan.
b. Pembagian Jenis Sampah Yang Detil
Pembagian jenis sampah dijelaskan bersamaan dengan jadwal membuang sampah dengan pembagian yang sangat detil bahkan kadang membingungkan. Orang Jepang sendiri juga berpendapat pembagian sampah kadang membingungkan dan cenderung ribet. Sampah dibagi menjadi sampah rumah tangga yang bisa dibakar, plastik, koran, kertas, botol, kaca, besi dan sampah campuran yang tidak bisa dibakar. Untuk jenis sampah tertentu dikenakan biaya misalnya saja sampah televisi sekitar 1000 yen atau 100 ribu rupiah, kulkas sekitar 3000 yen atau 300 ribu rupiah dan sampah mobil bisa mencapai 10.000 yen atau sekitar 1 juta rupiah.
c. Lokasi Tempat Buang Sampah
Lokasi tempat membuang sampah juga diatur per daerah. Misalnya daerah A tempat buang sampahnya di B, daerah C tempat buangnya di D dan seterusnya. Tidak bisa sembarangan. Dilarang keras membuang sampah bukan di tempatnya, misalnya saja pinggir jalan, sungai atau tempat tempat kosong.
d. Warna Plastik Tempat Sampah Yang Berbeda
Setiap daerah menerbitkan kantong plastik yang warnanya berbeda beda dan tertulis nama daerahnya. Sampah rumah tangga yang bisa dibakar kantong plastiknya berwarna hijau, sampah plastik berwarna merah dan kerta berwarna kuning. Kantong plastik didaerah tempat tinggal seseorang hanya berlaku di daerah tersebut. Jika dibuang di daerah lain tidak akan diangkut oleh petugas.
e. Fasilitas Pengolahan Sampah Yang Lengkap
Fasilitas pengolahan sampah di Jepang terkenal dengan istilah Kurin Senta atau Clean Center. Pengolahan sampah disini kalau di Indonesia kita kenal dengan istilah Tempat Pembuangan Akhir atau TPA. Tapi ada perbedaan yang mencolok antara TPA di Indonesia dan di Jepang. TPA di Indonesia identik dengan sampah yang jumlahnya menggunung dan baunya hebat sekali. Sedangkan di Jepang yang namanya TPA bentuknya kayak gedung perkantoran yang punya tower. Lingkungan sekitar juga tidak akan protes karena memang tidak mengeluarkan bau tidak sebab. Karena sampah yang dikumpulkan diproses sesuai dengan jenis sampahnya. Untuk sampah rumah tangga dibakar sedangkan sampah jenis lainnya didaur ulang untuk dijadikan produk lain. Boleh dikatakan tidak ada yang tersisa karena semua diproses lebih lanjut.
VI. Perkembangan Sampah di Dunia
Sebuah studi yang dikeluarkan Bank Dunia memperkirakan biaya pengelolaan sampah di seluruh muka bumi dalam kurun waktu 13 tahun mendatang bakal meningkat dari US$205 miliar (Rp1.845 triliun) pada tahun 2012 menjadi US$376 miliar (Rp3.375 triliun) pada 2025.
Dalam laporan berjudul What a Waste: A Global Review of Solid Waste Management disebutkan, total sampah yang dihasilkan di seluruh dunia pada tahun ini mencapai sekitar 1,3 miliar ton per tahun. Pada 2025 mendatang, volume sampah dunia diprediksi bisa mencapai hampir dua kali lipat atau sebanyak 2,2 miliar ton.
Bank Dunia memperkirakan penambahan volume sampah dunia sebagian besar berasal dari negara berkembang. Sementara biaya pengelolaan sampah yang makin mahal, justru diperkirakan bakal meningkat di sejumlah negara berpendapatan rendah. Mengembangkan sistem pengelolaan sampah yang baik, terutama di negara berpendapatan rendah, menjadi isu yang penting.
Bank Dunia menjelaskan, pengelolaan sampah di sejumlah kota besar merupakan pelayanan utama yang harus diberikan pemerintah kota. Di negara berpendapatan rendah, anggaran pengelolaan sampah bahkan menjadi salah satu alokasi terbesar dari pemerintah setempat. Tak hanya itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja sangat besar.
Sebuah kota yang tak bisa mengelola sampah dengan baik, biasanya menunjukkan ketidaksanggupan dalam mengelola pelayanan masyarakat lain yang jauh lebih komplek seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Meningkatkan kemampuan pengelolaan sampah merupakan salah satu cara paling efektif untuk memperkuat pengelolaan pemerintahan secara keseluruhan.
Laporan tersebut juga mengungkapkan, negara yang mengalami peningkatan jumlah sampah tertinggi dalam beberapa tahun ke depan adalah China. Negara Panda ini melewati volume sampah dari Amerika Serikat yang menempati posisi puncak di tahun 2004 lalu. Sejumlah negara penghasil sampah terbanyak lainnya berasal dari kawasan Asia Timur, sebagian Eropa Timur, dan Timur Tengah.
Negara maju merupakan penghasil sampah elektronik terbesar di dunia, diantaranya Amerika dan Jepang. Negara tersebut merupakan produsen dari produk-produk elektronik terbesar di dunia yang siklus perkembangan di bidang teknologi sangat cepat dan pesat, hal ini juga diimbangi sifat daya beli konsumen juga besar pula. Kebanyakan negara maju membuang sampah elektroniknya dengan mengekspor ke negara-negara berkembang. Tak kurang 20.000 hingga 50.000 ton sampah elektronik dibuang ke negara berkembang. Sungguh ironis memang, disatu sisi negara maju ingin merubah pola hidup mereka agar dapat hidup lebih dekat dengan lingkungan tetapi dengan cara yang salah dan disatu sisi negara berkembang yang menerima sampah elektronik tersebut menggunakan suku cadang bekas dari barang elektronik tersebut untuk diribah menjadi barang elektronik kembali.
Negara berkembang yang selalu menjadi tempat sampah elektronik diantaranya adalah Cina. Di Cina sampah elektronik yang masuk ke pelabuhan melalui peti kemas kemudian dikumpulkan ke penampungan barang elektronik bekas. Sampah-sampah elektronik tersebut kemudian dipilah-pilah dan diambil suku cadangnya yang masih bisa digunakan. Para pekerja yang kebanyakan dari golongan ekonomi menengah kebawah bekerja melebur timah, mengambil komponen dari sirkuit-sirkuit dari barang elektronik tanpa menggunakan pelindung khusus. Dari kumpulan suku cadang bekas tersebut, kemudian dirubah menjadi barang elektronik kembali dengan nilai jual yang tinggi, tetapi dengan usia produk yang pendek, kemudian dijual secara ilegal ataupun legal ke negara-negara lainnya. Sedangkan sampah-sampah elektronik yang tidak dapat digunakan kembali dibiarkan menumpuk dan sebagian dibakar untuk mengurangi tumpukan sampah elektronik.
Pola konsumsi masyarakat dan pola produksi yang tidak terbatas menjadi faktor utama semakin banyaknya sampah-sampah elektronik di dunia. Alangkah baiknya jika mulai sekarang para produsen barang elektronik memproduksi barang elektronik yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang di kemudian hari.
Konvensi Basel yang bernama asli Basel Convention on the Control oh Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, dinyatakan berlaku pada 1989 dengan 118 negara penandatangan. Konvensi internasional ini lahir sebagai bentuk keprihatinan atas semakin massive nya ekspor perdagangan sampah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Konvensi Bassel dikemudian hari menjadi alat legitimasi untuk perdagangan limbah berbahaya lintas negara. Namun perlawanan datang dari dari negara-negara berkembang yang dimotori LSM lingkungan, yang kemudian melahirkan Basel Ban Amandement yang melakukan amandemen terhadap Konvensi Basel dengan mempertegas larangan pengangkutan limbah berbahaya lintas negara.
Basel Ban Amandement dinyatakan berlaku apabila diratifikasi oleh 62 negara dan saat ini telah diratifikasi oleh 63 negara. Namun karena adanya perbedaan penafsiran, Ban Amandement belum dapat diberlakukan. Hal ini lebih disebabkan oleh sejumlah kecil negara maju yang tergabung dalam ”JUSCANZ” (Japan, US, Canada, Australia, New Zealand) yang menolak dilakukannya pelarangan. Karena pada kenyataannya, negara-negara tersebut yang paling banyak melakukan ekspor limbah beracunnya seperti limbah elektronik (e-wastes) ke negara berkembang.

Referensi: DR Arif Zulkifli; http://bangazul.blogspot.com/2013/01/pengelolaan-sampah-3.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar