1. Korea
Menurut laporan UNEP Green Economy, dalam beberapa tahun terakhir,
pemerintah Korea dengan berbagai kebijakannya, berhasil menggalakkan
program daur ulang di Negeri Ginseng itu sekaligus menciptakan ribuan
lapangan kerja baru. Hal tersebut dilakukan pemerintah demi menciptakan
masyarakat yang mampu memanfaatkan kembali sumber daya (Resource
Recirculation Society).
Kebijakan “Extended Producer Responsibility” (EPR) dari
pemerintah mewajibkan perusahaan dan importir untuk mendaur ulang
sebagian dari produk mereka. (EPR) adalah suatu strategi yang dirancang
untuk mempromosikan integrasi semua biaya yang berkaitan dengan
produk-produk mereka di seluruh siklus hidup (termasuk
akhir-of-pembuangan biaya hidup) ke dalam pasar harga produk. Tanggung
jawab produser diperpanjang dimaksudkan untuk menentukan akuntabilitas
atas seluruh Lifecycle produk dan kemasan diperkenalkan ke pasar. Ini
berarti perusahaan yang manufaktur, impor dan / atau menjual produk
diminta untuk bertanggung jawab atas produk mereka berguna setelah
kehidupan serta selama manufaktur. Prinsip pengotor membayar - prinsip
pengotor membayar adalah prinsip di mana pihak pencemar membayar dampak
akibatnya ke lingkungan. Sehubungan dengan pengelolaan limbah, ini
umumnya merujuk kepada penghasil sampah untuk membayar sesuai dari
pembuangan
Lima tahun setelah kebijakan EPR ini diluncurkan yaitu pada 2003,
sebanyak 6,067 juta ton sampah berhasil didaur ulang dengan manfaat
finansial mencapai lebih dari US $1,6 miliar. Pada 2008, sebanyak 69.213
ton produk plastik berhasil didaur ulang, membawa manfaat ekonomi
sebesar US$69 juta. Selain itu, dalam masa empat tahun penerapan EPR
(2003-2006), sistem ini berhasil menciptakan 3.200 lapangan kerja baru .
Manfaat EPR terhadap lingkungan juga tak kalah besarnya.
Dengan mendaur ulang produk-produk yang ditentukan oleh EPR, Korea
berhasil mengurangi emisi karbon dioksida rata-rata 412.000 ton per
tahun. Sistem EPR juga berhasil mencegah terciptanya 23.532 ton emisi
gas rumah kaca dari pembuangan dan pembakaran sampah plastik.
Walaupun jumlah sampah di Korea terus meningkat (sejak tahun 2000),
namun jumlah sampah yang berhasil didaur ulang juga terus naik. Contoh,
pada tahun 1995, sebanyak 72.3% sampah padat dibuang di tempat
pembuangan sampah akhir (TPA) dan hanya 23,7% yang berhasil didaur
ulang. Pada tahun 2007, 57.8% sampah padat berhasil didaur ulang dan
hanya 23,6% yang dibuang. Pada tahun yang sama, sebanyak 81,1% dari
total sampah berhasil didaur ulang.
Dengan berkurangnya sampah dan tempat pembuanganya, bisnis
baru tercipta. Proyek Pemulihan Kembali Gas Dari Sampah Korea (Korea’s
Landfill Gas Recovery Project) kini menjadi sebuah proyek pengembangan
energi bersih besar dengan kapasitas energi mencapai 50 MWh dan
memroduksi 363.259 MWh pada tahun 2009.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Perkotaan (Metropolitan Landfill Power
Plant) telah berhasil mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 0,4 juta
ton antara April dan November 2007. Proyek ini diharapkan mampu
mengurangi 7 juta ton emisi gas rumah kaca dalam jangka waktu 10 tahun
(dari April 2007 hingga April 2017).
Dalam periode yang sama, pembangkit tersebut diharapkan
mampu menghemat biaya pemerintah sebesar US$126 juta. Pembangkit ini
juga telah berhasil mengurangi impor minyak Korea sebesar 530.000 barel
pada tahun 2009.
2. Belanda
Sementara itu di Eropa dalam mengatasi masalah sampah ini,
Komisi Eropa telah membuat panduan dasar pengelolaan sampah yang
diperuntukkan untuk negara-negara anggotanya, seperti Belanda, Swedia
dan Jerman. Dalam penyusunan panduan itu melibatkan pemerintah,
pengusaha, dan rakyat masing-masing negara. Lalu, Kebijaksanaan Eropa
itu kemudian diterjemahkan oleh parlemen negara masing-masing ke dalam
perundang-undangan domestik, yang berlaku buat pemerintah pusat hingga
daerah.
Sampai dengan abad ke-17 penduduk Belanda melempar sampah di mana saja
sesuka hati. Di abad berikutnya sampah mulai menimbulkan penyakit,
sehingga pemerintah menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah. Di abad
ke-19, sampah masih tetap dikumpulkan di tempat tertentu, tapi bukan
lagi penduduk yang membuangnya, melainkan petugas pemerintah daerah yang
datang mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20 sampah
yang terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, melainkan
dibakar. Kondisi pengelolaan sampah di Negeri Kincir Angin (Belanda)
saat itu kira-kira sama seperti di Indonesia saat ini.
Di Belanda, mereka memisahkan sampah menjadi: sampah
organik, sampah yang bisa didaur ulang, sampah yang tidak berbahaya bila
dibakar, dan sampah yang berbahaya/beracun. Pemerintah Belanda
menyediakan tempat2 sampah sesuai jenisnya, sehingga memudahkan dinas
pengelolaan sampah untuk mengolahnya. Sampah organik seperti sisa
makanan ataupun daun2an kemudian diproses menjadi pupuk kompos. Sampah2
seperti kertas, kaca, dan logam bisa didaur ulang kembali. Sedangkan
sampah2 yang tidak berbahaya dibakar untuk kemudian bisa membangkitkan
pembangkit listrik tenaga uap (ini bisa jadi solusi buat PLN yang
katanya lagi krisis energi). Sedangkan sampah2 berbahaya seperti batu
baterai dan aki di karantina karena berbahaya bagi lingkungan (sanitary
landfill)
3. Swedia
Pengelolaan sampah di Swedia selalu mengedepankan bahwa sampah merupakan
salah satu resources yang dapat digunakan sebagai sumber energi. dasar
pengelolaan sampah diletakkan pada minimasi sampah dan pemanfaatan
sampah sebagai sumber energi. Keberhasilan penanganan sampah itu
didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat yang sudah sangat tinggi.
Landasan kebijakan Swedia, senyawa beracun yang terkandung dalam sampah
harus dikurangi sejak pada tingkat produksi. Minimasi jumlah sampah dan
daur ulang ditingkatkan. Pembuangan sampah yang masih memiliki nilai
energi dikurangi secara signifikan.
Sehingga, kebijaksanaan pengelolaan sampah swedia antara
lain meliputi: Pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA harus
berkurang sampai dengan 70 % pada tahun 2015. Sampah yang dapat dibakar
(combustible waste) tidak boleh dibuang ke TPA sejak tahun 2002. Sampah
organik tidak boleh dibuang ke TPA lagi pada tahun 2005. Tahun 2008
pengelolaan lokasi landfill harus harus sesuai dengan ketentuan standar
lingkungan. Pengembangan teknologi tinggi pengolahan sampah untuk sumber
energi ditingkatkan.
Kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat yang mengerti arti kebersihan
dan energi, membuat Swedia menjadi negara maju dalam pengelolaan
sampah. Dalam data statistik Eurostat, rata-rata jumlah sampah yang
menjadi limbah di negara-negara Eropa adalah 38 persen. Swedia berhasil
menekan angka itu menjadi hanya satu persen.
Swedia, negara terbesar ke-56 di dunia, dikenal memiliki
manajemen sampah yang baik. Mayoritas sampah rumah tangga di negara
Skandinavia itu bisa didaur ulang atau digunakan kembali. Satu-satunya
dampak negatif dari kebijakan ini adalah Swedia kini kekurangan sampah
untuk dijadikan bahan bakar pembangkit energinya.
Swedia kini mengimpor 800 ribu ton sampah per tahun dari negara-negara
tetangganya di Eropa. Mayoritas sampah ini berasal dari Norwegia.
Sampah-sampah ini sekaligus untuk memenuhi program Sampah-Menjadi-Energi
(Waste-to-Energy) di Swedia. Dengan tujuan utama mengubah sampah
menjadi energi panas dan listrik.
Norwegia, sebagai negara pengekspor, bersedia dengan
perjanjian ini karena dianggap lebih ekonomis dibanding membakar sampah
yang ada. Namun, dalam rencana perjanjian disebutkan, sampah beracun,
abu dari proses kremasi, atau yang penuh dengan dioksin, akan
dikembalikan ke Norwegia.
Sedangkan bagi Swedia, mengimpor sampah adalah pemikiran maju dalam hal
efisiensi dan suplai energi bagi kebutuhan manusia. Membakar sampah
dalam insinerator mampu menghasilkan panas. Di mana energi panas ini
kemudian didistribusikan melalui pipa ke wilayah perumahan dan gedung
komersial. Energi ini juga mampu menghasilkan listrik bagi rumah
rakyatnya.
Dikatakan oleh Catarina Ostlund, Penasihat Senior untuk Swedish
Environmental Protection Agency, kebijakan ini bisa meningkatkan nilai
dari sampah di masa depan. "Mungkin Anda bisa menjual sampah karena ada
krisis sumber daya di dunia," ujar Ostlund.
Sesudah Norwegia, Swedia menargetkan mengimpor sampah dari
Bulgaria, Rumania, dan Italia. Selain membantu Swedia dalam menyediakan
sumber energi, impor sampah ini juga menjadi solusi pengelolaan sampah
bagi negara-negara pengekspornya.
(Zika Zakiya. Sumber: Phys.org)
4. Austria
Kelompok statistik Uni Eropa Eurostat telah mengumumkan nama
negara yang melakukan daur ulang paling sukses pada 2009, yaitu
Austria. Menurut statistic Eurostat itu, tidak kurang dari 70 persen
limbah dari rumah tangga didaur ulang atau dijadikan kompos di Austria.
Usaha pengomposan itu menempati tingkat pertama di atas 26 negara yang
tergabung dalam Uni Eropa.
Di Inggris, sebagai perbandingan, bisa dikatakan Negara yang terburuk
dalam melakukan daur ulang. Karena negara itu hanya 26 persen saja dan
menempati posisi akhir dari statistik itu.
Laporan Eurostat itu menampilkan data khususnya soal limbah yang
dihasilkan Negara-negara di Uni Eropa. Secara per kapita, penduduk Eropa
menghasilkan rata-rata 513 kg limbah rumah tangga selama tahun 2009.
Rata-rata ini adalah tingkat tertinggi, sementara angka limbah rumah
tangga tertinggi dihasilkan oleh Denmark dengan 833 kg dan yang
terrendah adalah Republik Ceko dengan 316 kg limbah.
Di Eropa limbah yang dihasilkan oleh warganya rata-rata 504
kg per hari. Dari jumlah itu, 38 % dibuang ke TPA, 24 % didaur ulang, 20
% diinsinerasi dan 18 % diubah menjadi kompos.
5. Jerman
Sejak 1972 pemerintah Jerman melarang sistem sanitary landfill, karena
terbukti selalu merusak tanah dan air tanah. Bagaimanapun sampah
merupakan campuran segala macam barang (tidak terpakai) dan hasil reaksi
campurannya seringkali tidak pernah bisa diduga akibatnya. Pada
beberapa TPA atau instalasi daur ulang selalu terdapat pemeriksaan dan
pemilahan secara manual. Hal ini untuk menghindari bahan berbahaya
tercampur dalam proses, seperti misalnya baterei dan kaleng bekas oli
yang dapat mencemari air tanah. Sampah berbahaya ini harus dibuang dan
dimusnahkan dengan cara khusus.
Di Jerman terdapat perusahaan yang menangani kemasan bekas
(plastik, kertas, botol, metal dsb) di seluruh negeri, yaitu DSD/AG
(Dual System Germany Co). DSD dibiayai oleh perusahaan-perusahaan yang
produknya menggunakan kemasan. DSD bertanggung jawab untuk memungut,
memilah dan mendaur ulang kemasan bekas.
Berbeda dengan kondisi Jerman 30 tahun silam, terdapat 50.000 tempat
sampah yang tidak terkontrol, tapi kini hanya 400 TPA (Tempat Pembuangan
Akhir). 10-30 % dari sampah awal berupa slag yang kemudian dibakar di
insinerator dan setelah ionnya dikonversikan, dapat digunakan untuk
bahan konstruksi jalan.
Cerita menarik proses daur ulang ini datangnya dari Passau
Hellersberg adalah sampah organik yang dijadikan energi. Produksi kompos
dan biogas ini memulai operasinya tahun 1996. Sekitar 40.000 ton sampah
organik pertahun selain menghasilkan pupuk kompos melalui fermentasi,
gas yang tercipta digunakan untuk pasokan listrik bagi 2.000 - 3.000
rumah.
6. Mesir
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat
dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem
pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan
industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk
memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk
semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi
nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi.
Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang
mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan
dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah
yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak
dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai
dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat
agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya.
Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak
begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di
negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi,
hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau
pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan
sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi
komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang.
Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil
membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu
mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan
40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem
untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting
dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik
seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing)
atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang
ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa
didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis
dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan
lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain,
dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
7. Jepang
a. Belajar dari Osaka
Menurut Katsuya Tokurei (Kepala Bappeda Kota Osaki), di Kota
Osaki pemilahan sampah dimulai sejak 15 tahun lalu dengan 25 jenis
sampah yang dipilah. Pemilahan sampah diawali sejak keluar dari rumah,
untuk mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA). Selama 8 tahun
pemerintah secara konsisten menjelaskan kepada masyarakat mengenai
pentingnya memilah sampah sejak dari dapur. Sampai akhirnya sekarang ini
masyarakat Osaki selalu memilah sampah sejak dari dapur dan sekarang
ditanamkan hal tersebut ke anak-anak sejak usia dini.
Sampah rumah tangga paling banyak menghabiskan tempat dan volume.
Sedangkan sampah organik adalah sampah yang paling berat, paling sulit
dibuang saat keluar dari rumah. Namun, sampah organik bila dipisah dapat
menjadi sumber daur ulang dengan nilai ekonomis.
Menurut Tokurei, tahun 1998 lalu, sampah di Kota Osaki
mencapai 4.382 ton setiap hari. Setelah masyarakat diberikan ilmu
tentang pemilahan sampah, maka setahap demi setahap jumlah sampah mulai
menurun. Tahun 1999, sampah yang dihasilkan tinggal 3.763 ton, tahun
2000 menurun lagi menjadi 2.393 ton, memasuki tahun 2001 jadi tinggal
1.700 ton. Dan terus menurun, hingga akhirnya tinggal nol dan 80 persen
sampah di Kota Osaki dapat didaur ulang, dan yang masuk ke TPA tingga 20
persen.
b. Belajar dari Tokyo;
Sekitar 75% sampah di Jepang
diolah dengan cara dibakar.
Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di
tahun 1960 dan 1970-an, orang Jepang bahkan masih rendah kepeduliannya
pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah.
Pada saat itu, Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga
masalah lingkungan hidup tidak menjadi prioritas. Contohnya kasus
pencemaran Minamata, saat pabrik Chisso Minamata membuang limbah merkuri
ke lautan dan mencemari ikan serta hasil laut lainnya. Para nelayan dan
warga sekitar yang makan ikan dari laut sekitar Minamata menjadi
korban. Di tahun 2001, tercatat lebih dari 1700 korban meninggal akibat
tragedi tersebut.
Di tahun 60 dan 70-an, kasus polusi, pencemaran lingkungan,
keracunan, menjadi bagian dari tumbuhnya industri Jepang. Di kota Tokyo
sendiri, limbah dan sampah rumah tangga saat itu menjadi masalah besar
bagi lingkungan dan mengganggu kehidupan warga Tokyo.
Pada pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat peduli
lingkungan atau “chonaikai” di berbagai kota di Jepang. Masyarakat
menggalang kesadaran warga tentang cara membuang sampah, dan
memilah-milah sampah, sehingga memudahkan dalam pengolahannya. Gerakan
mereka menganut tema 3R atau Reduce, Reuse, and Recycle. Mengurangi
pembuangan sampah, Menggunakan Kembali, dan Daur Ulang.
Gerakan tersebut terus berkembang, didukung oleh berbagai
lapisan masyarakat di Jepang. Meski gerakan peduli lingkungan di
masyarakat berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki
Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah. Bagi pemerintah saat itu,
urusan lingkungan belum menjadi prioritas.
Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang
positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang
mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang
Bulan Juni 2000, UU mengenai Masyarakat Jepang yang
berorientasi Daur Ulang atauBasic Law for Promotion of the Formation of
Recycling Oriented Society disetujui oleh parlemen Jepang. Sebelumnya,
pada tahun 1997, Undang-undang Kemasan Daur Ulang atau “Containers and
Packaging Recycle Law” telah terlebih dahulu disetujui oleh Parlemen.
Pada mulanya pengolahan sampah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tokyo,
akan tetapi saat ini pengolahan sampah telah diambil alih oleh Asosiasi
Pemrosesan Sampah Kota/Kecamatan. Asosiasi tersebut tidak bertujuan
mencari laba.
Tempat Pengolahan sampah dibangun diatas tanah seluas 44.400 m2, dengan
rincian untuk bangunan pengolah sampah seluas 28.548 m2 dan bangunan
administrasi 2.236 m2. Bangunan pengolah sampah dilengkapi dengan Stack
berupa silinder bertulang baja setinggi 130 m. Fasilitas Slag stock
dengan konstruksi bertulang baja setinggi 9,6 m. Tempat Pengolahan
sampah dibangun dengan modal 29 Milyar yen dengan pegawai 36 orang.
Metode pembakaran TPS dengan cara Fully continuous combustion dengan
kapasitas 600 ton per hari.
Hasil pembakaran sampah berupa debu, kemudian dipanaskan
lagi dengan suhu 3000oC sehingga dapat diperoleh material bangunan yang
disebut slag. Material tersebut sangat bernilai sebagai material baru
untuk konstruksi bangunan.
Masyarakat Jepang terkenal sangat serius dalam menangani sampah. Tidak
hanya tidak boleh membuang sampah sembarangan, melainkan juga harus
memisahkan-misahkan berbagai jenis sampah sebelum dibuang, jadi tidak
ada sampah yang di masukkan kedalam kantong sampah secara “borongan”.
Secara prinsip, sampah di Jepang dibagi menjadi 4 jenis :
• Sampah bakar (conbustible)
• Sampah tidak bakar (nonconbustible)
• Sampah daur ulang (recycle)
• Sampah ukuran besar
Di negara Jepang, Ada jadwal di hari hari tertentu yang
mengatur jenis sampah saja yang harus dibuang, Petugas akan mengambil
sampah tiap hari sesuai jadwal dan jenis sampahnya.
Dalam tehnik pengolahan sampah :
1. Truk-truk sampah masuk ke pusat pengolahan melalui pintu utAma.
2. Truk ditimbang untuk mengetahui berat sampah yang dibawa.
3. Sampah-sampah dimasukan ketempat pembakaran.
4. Ampas hasil sampah digunakan membuat cone-block untuk trotoar lingkungan setempat.
5. Cairan dari sampah basah, tempat pengolahan memiiki mesin penyulingan
air yang fungsinya membersihkan air dari sampah, sebelum dialirkan lagi
kesungai.
Sistem daur ulang di Jepang, menganut dua langkah besar,
1. Pemisahan material dan pengumpalan
2. Pemrosesan dan daur ulang sampah.
Kesadaran, gotong royong dan kerjasama yang baik antarwaga, pemerintah
dan segenap elemen masyarakat menjadikan pengolahan sampah di Jepang
dapat berjalan lancar,
Peran berbagai pihak dalam pengelolaan sampah di Jepang.
1. Peran Lembaga Pendidikan Dalam Pengelolaan Sampah
Program Gomi Zero Di Hiroshima City University. Mahasiswa Turun Ke Jalan Untuk Membersihkan Sampah.
Peran lembaga pendidikan dalam pengelolaan sampah sangat penting sekali.
Salah satu fungsi lembaga pendidikan dalam hal pengelolaan sampah
adalah menyadarkan generasi muda Jepang tentang etika, bahaya dan efek
buruk sampah melalui jalur pendidikan sejak dini. Salah satu hal yang
menarik adalah bukan hanya mengajarkan teori belaka tetapi turut aktif
terjun langsung dengan cara mengerahkan semua muridnya untuk
membersihkan sampah di dalam lingkungan sekolah dan sekitarnya. Program
seperti ini dikalangan masyarakat Jepang dikenal dengan istilah gomi
zero, gomi artinya sampah dan zero artinya nol jadi bisa diartikan
gerakan tidak ada sampah. Bukan hanya dikalangan taman kanak kanak dan
sekolah dasar, program gomi zero dikalangan lembaga pendidikan juga
dilakukan sampai tingkat universitas dengan cara sama seperti anak anak
sekolah dasar, yaitu membersihkan lingkungan dalam kampus dan
sekitarnya.
2. Peran Serta Perusahaan
Gomi Zero Oleh Para Karyawan Perusahaan Dengan Membersihkan Sampah Di Tepi Sungai.
Bagaimana peran perusahaan dalam hal pengelolaan sampah? Ternyata persan
perusahaan juga sangat besar baik dalam pengelolaan sampah di dalam
perusahaan maupun lingkungan sekitarnya. Sampah di dalam perusahaan
diatur sangat ketat dalam proses pemisahannya. Dalam kondisi tertentu
misalnya menyangkut sampah jenis khusus perusahaan menggandeng
perusahaan pengelola sampah secara khusus. Perusahaan juga tidak
ketinggalan berperan serta dalam pemeliharaan lingkungan melalui program
gomi zero secara berkala. Kalau sudah ada program gomi zero, semua
karyawan ikut tidak terkecuali. Jadi tidak heran jika kita lihat orang
yang pakaiannya rapi pakai jas dan dasi berkeliaran di jalan memunguti
sampah. Aktivitas gomi zero ini diabadikan kemudian di tempel di papan
pengumuman agar semangat gomi zero tidak pernah luntur.
3. Peran Masyarakat
Gomi Zero Oleh Masyarakat Jepang Yang Tinggal Di Daerah Pantai
Kesadaran akan kebersihan dan pengelolaan sampah di Jepang
sangat tinggi sekali. Hasilnya luar biasa, dari lingkungan tempat
tinggal, stasiun, jalan raya dan lingkungan, taman, daerah aliran sungai
sampai pusat kota terlihat bersih dan cantik sekali.
Untuk membangun kesadaran itu, kelompok masyarakat seperti “chonaikai”
melakukan aksi-aksi kampanye kepedulian lingkungan di berbagai lapisan
masyarakat. Beberapa sukarelawan ada yang secara aktif turun ke
perumahan untuk memonitor pembuangan sampah, dan berdialog dengan warga
tentang cara penanganan sampah.
Tidak hanya itu, tekanan sosial dari masyarakat Jepang
apabila kita tidak membuang sampah pada tempat dan jenisnya. Rasa malu
menjadi kunci efektivitas penanganan sampah di Jepang. Ketiga, program
edukasi yang masif dan agresif dilakukan sejak dini. Anak-anak di
Jepang, sejak kelas 3 SD sudah dilatih cara membuang sampah sesuai
dengan jenisnya. Hal tersebut membangun kultur buang sampah yang mampu
tertanam di alam bawah sadar. Membuang sampah sesuai jenis sudah menjadi
“habit”.
4. Regulasi Dari Pemerintah Jepang
Poin keempat yaitu regulasi ini sangat vital bagi
pengelolaan sampah di Jepang. Karena jika tidak ada regulasi yang hebat
pengelolaan sampah di Jepang tidak akan berjalan dengan baik. Regulasi
yang bersifat menyeluruh diatur oleh pemerintah pusat, sedangkan yang
bersifat teknis diatur oleh pemerintah daerah.
a. Jadwal Membuang Sampah Per Tahun Yang Jelas
Jadwal membuang sampah di Jepang diterbitkan oleh tiap-tiap
pemerintah daerah setahun sekali berlaku dari bulan April sampai Maret
tahun berikutnya. Setiap daerah memiliki jadwal yang berbeda beda
sehingga tidak akan tabrakan. Jadwal ini sangat penting karena menjadi
salah satu patokan dalam membuang sampah di Jepang. Jangan sampai salah
hari karena tidak akan diangkut. Misalnya saja hari senin jadwalnya
membuang sampah yang bisa dibakar,. Jika membuang jenis lain misalnya
jenis sampah plastik bisa bisa petugas tidak akan mengangkutnya.
Akhirnya numpuk dan mengganggu pemandangan.
b. Pembagian Jenis Sampah Yang Detil
Pembagian jenis sampah dijelaskan bersamaan dengan jadwal
membuang sampah dengan pembagian yang sangat detil bahkan kadang
membingungkan. Orang Jepang sendiri juga berpendapat pembagian sampah
kadang membingungkan dan cenderung ribet. Sampah dibagi menjadi sampah
rumah tangga yang bisa dibakar, plastik, koran, kertas, botol, kaca,
besi dan sampah campuran yang tidak bisa dibakar. Untuk jenis sampah
tertentu dikenakan biaya misalnya saja sampah televisi sekitar 1000 yen
atau 100 ribu rupiah, kulkas sekitar 3000 yen atau 300 ribu rupiah dan
sampah mobil bisa mencapai 10.000 yen atau sekitar 1 juta rupiah.
c. Lokasi Tempat Buang Sampah
Lokasi tempat membuang sampah juga diatur per daerah.
Misalnya daerah A tempat buang sampahnya di B, daerah C tempat buangnya
di D dan seterusnya. Tidak bisa sembarangan. Dilarang keras membuang
sampah bukan di tempatnya, misalnya saja pinggir jalan, sungai atau
tempat tempat kosong.
d. Warna Plastik Tempat Sampah Yang Berbeda
Setiap daerah menerbitkan kantong plastik yang warnanya
berbeda beda dan tertulis nama daerahnya. Sampah rumah tangga yang bisa
dibakar kantong plastiknya berwarna hijau, sampah plastik berwarna merah
dan kerta berwarna kuning. Kantong plastik didaerah tempat tinggal
seseorang hanya berlaku di daerah tersebut. Jika dibuang di daerah lain
tidak akan diangkut oleh petugas.
e. Fasilitas Pengolahan Sampah Yang Lengkap
Fasilitas pengolahan sampah di Jepang terkenal dengan
istilah Kurin Senta atau Clean Center. Pengolahan sampah disini kalau di
Indonesia kita kenal dengan istilah Tempat Pembuangan Akhir atau TPA.
Tapi ada perbedaan yang mencolok antara TPA di Indonesia dan di Jepang.
TPA di Indonesia identik dengan sampah yang jumlahnya menggunung dan
baunya hebat sekali. Sedangkan di Jepang yang namanya TPA bentuknya
kayak gedung perkantoran yang punya tower. Lingkungan sekitar juga tidak
akan protes karena memang tidak mengeluarkan bau tidak sebab. Karena
sampah yang dikumpulkan diproses sesuai dengan jenis sampahnya. Untuk
sampah rumah tangga dibakar sedangkan sampah jenis lainnya didaur ulang
untuk dijadikan produk lain. Boleh dikatakan tidak ada yang tersisa
karena semua diproses lebih lanjut.
VI. Perkembangan Sampah di Dunia
Sebuah studi yang dikeluarkan Bank Dunia memperkirakan biaya pengelolaan
sampah di seluruh muka bumi dalam kurun waktu 13 tahun mendatang bakal
meningkat dari US$205 miliar (Rp1.845 triliun) pada tahun 2012 menjadi
US$376 miliar (Rp3.375 triliun) pada 2025.
Dalam laporan berjudul What a Waste: A Global Review of
Solid Waste Management disebutkan, total sampah yang dihasilkan di
seluruh dunia pada tahun ini mencapai sekitar 1,3 miliar ton per tahun.
Pada 2025 mendatang, volume sampah dunia diprediksi bisa mencapai hampir
dua kali lipat atau sebanyak 2,2 miliar ton.
Bank Dunia memperkirakan penambahan volume sampah dunia sebagian besar
berasal dari negara berkembang. Sementara biaya pengelolaan sampah yang
makin mahal, justru diperkirakan bakal meningkat di sejumlah negara
berpendapatan rendah. Mengembangkan sistem pengelolaan sampah yang baik,
terutama di negara berpendapatan rendah, menjadi isu yang penting.
Bank Dunia menjelaskan, pengelolaan sampah di sejumlah kota
besar merupakan pelayanan utama yang harus diberikan pemerintah kota. Di
negara berpendapatan rendah, anggaran pengelolaan sampah bahkan menjadi
salah satu alokasi terbesar dari pemerintah setempat. Tak hanya itu,
sektor ini juga menyerap tenaga kerja sangat besar.
Sebuah kota yang tak bisa mengelola sampah dengan baik, biasanya
menunjukkan ketidaksanggupan dalam mengelola pelayanan masyarakat lain
yang jauh lebih komplek seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi.
Meningkatkan kemampuan pengelolaan sampah merupakan salah satu cara
paling efektif untuk memperkuat pengelolaan pemerintahan secara
keseluruhan.
Laporan tersebut juga mengungkapkan, negara yang mengalami
peningkatan jumlah sampah tertinggi dalam beberapa tahun ke depan adalah
China. Negara Panda ini melewati volume sampah dari Amerika Serikat
yang menempati posisi puncak di tahun 2004 lalu. Sejumlah negara
penghasil sampah terbanyak lainnya berasal dari kawasan Asia Timur,
sebagian Eropa Timur, dan Timur Tengah.
Negara maju merupakan penghasil sampah elektronik terbesar di dunia,
diantaranya Amerika dan Jepang. Negara tersebut merupakan produsen dari
produk-produk elektronik terbesar di dunia yang siklus perkembangan di
bidang teknologi sangat cepat dan pesat, hal ini juga diimbangi sifat
daya beli konsumen juga besar pula. Kebanyakan negara maju membuang
sampah elektroniknya dengan mengekspor ke negara-negara berkembang. Tak
kurang 20.000 hingga 50.000 ton sampah elektronik dibuang ke negara
berkembang. Sungguh ironis memang, disatu sisi negara maju ingin merubah
pola hidup mereka agar dapat hidup lebih dekat dengan lingkungan tetapi
dengan cara yang salah dan disatu sisi negara berkembang yang menerima
sampah elektronik tersebut menggunakan suku cadang bekas dari barang
elektronik tersebut untuk diribah menjadi barang elektronik kembali.
Negara berkembang yang selalu menjadi tempat sampah elektronik
diantaranya adalah Cina. Di Cina sampah elektronik yang masuk ke
pelabuhan melalui peti kemas kemudian dikumpulkan ke penampungan barang
elektronik bekas. Sampah-sampah elektronik tersebut kemudian
dipilah-pilah dan diambil suku cadangnya yang masih bisa digunakan. Para
pekerja yang kebanyakan dari golongan ekonomi menengah kebawah bekerja
melebur timah, mengambil komponen dari sirkuit-sirkuit dari barang
elektronik tanpa menggunakan pelindung khusus. Dari kumpulan suku cadang
bekas tersebut, kemudian dirubah menjadi barang elektronik kembali
dengan nilai jual yang tinggi, tetapi dengan usia produk yang pendek,
kemudian dijual secara ilegal ataupun legal ke negara-negara lainnya.
Sedangkan sampah-sampah elektronik yang tidak dapat digunakan kembali
dibiarkan menumpuk dan sebagian dibakar untuk mengurangi tumpukan sampah
elektronik.
Pola konsumsi masyarakat dan pola produksi yang tidak
terbatas menjadi faktor utama semakin banyaknya sampah-sampah elektronik
di dunia. Alangkah baiknya jika mulai sekarang para produsen barang
elektronik memproduksi barang elektronik yang ramah lingkungan dan dapat
didaur ulang di kemudian hari.
Konvensi Basel yang bernama asli Basel Convention on the Control oh
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal,
dinyatakan berlaku pada 1989 dengan 118 negara penandatangan. Konvensi
internasional ini lahir sebagai bentuk keprihatinan atas semakin massive
nya ekspor perdagangan sampah berbahaya dari negara maju ke negara
berkembang.
Konvensi Bassel dikemudian hari menjadi alat legitimasi untuk
perdagangan limbah berbahaya lintas negara. Namun perlawanan datang dari
dari negara-negara berkembang yang dimotori LSM lingkungan, yang
kemudian melahirkan Basel Ban Amandement yang melakukan amandemen
terhadap Konvensi Basel dengan mempertegas larangan pengangkutan limbah
berbahaya lintas negara.
Basel Ban Amandement dinyatakan berlaku apabila diratifikasi oleh 62
negara dan saat ini telah diratifikasi oleh 63 negara. Namun karena
adanya perbedaan penafsiran, Ban Amandement belum dapat diberlakukan.
Hal ini lebih disebabkan oleh sejumlah kecil negara maju yang tergabung
dalam ”JUSCANZ” (Japan, US, Canada, Australia, New Zealand) yang menolak
dilakukannya pelarangan. Karena pada kenyataannya, negara-negara
tersebut yang paling banyak melakukan ekspor limbah beracunnya seperti
limbah elektronik (e-wastes) ke negara berkembang.
Referensi: DR Arif Zulkifli; http://bangazul.blogspot.com/2013/01/pengelolaan-sampah-3.html